Oleh: I Putu Gede Andy Pandy | September 25, 2011

Pendahuluan Thesis-KU

Wilayah pesisir merupakan 15 % daratan bumi dan sangat potensial sebagai modal dasar pembangunan Indonesia. Dalam wilayah pesisir ada banyak faktor yang berdampak diantaranya pertumbuhan penduduk yang besar, kegiatan-kegiatan manusia, pencemaran, dan pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. (Darsef, 2003). Meningkatnya populasi manusia dengan cepat disertai dengan kemajuan teknologi menimbulkan pemanfaatan sumber daya alam secara besar – besaran . Manusia sebagai subyek pengolah lingkungan dan 60% hidup di pesisir yang dapat menimbulkan perubahan pada perubahan tata ruang dan lingkungan hidupnya. Kepadatan dan pertumbuhan penduduk membuat kebutuhan pangan dan lahan menjadi meningkat dan berakibat pada kerusakan alam dan hutan.  Suhu permukaan bumi meningkat yang menimbulkan efek perubahan iklim yang drastis, dan pemanasan global. Menurut Al-Gore, semenjak revolusi industri dalam kurun waktu 20 tahun, suhu bumi meningkat 2 derajat, dan pada tahun 2100 diperkirakan naik sampai 58 derajat. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik, seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit.  Menurut Green Peace, akibat mencairnya es di kutub,  kemungkinan 2000 pulau di Indonesia akan tenggelam pada tahun 2050.                ( Diposaptono, 2002 ).

Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit. (Amano, 1992).

Menghindari kerusakan alam yang secara ekologis makin parah, kini sudah saatnya dipikirkan pendekatan dengan pengertian ke arah ekologis. Pada setiap kegiatannya terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam, manusia diharapkan menjaga dan memelihara kelestarian alam  yang akan menjamin kualitas hidup manusia. Manusia yang hidup dalam ruang, baik ruang dalam dan ruang luar. Kedua ruang saling mempengaruhi, ruang dalam yang nyaman karena ruang luar dan lingkungan yang nyaman, dan sebaliknya. Perancangan bangunan hendaknya memikirkan aspek berkelanjutan, jangan hanya memikirkan bagaimana bisa hidup nyaman hari ini tanpa memikirkan bagaimana hidup nyaman untuk seterusnya. Seperti pada setiap rancangan kegiatan manusia termasuk dalam merancang bangunan dan interiornya diharapkan juga berpihak pada keselarasan dengan alam melalui pendekatan. Karena menurut Mazria dalam Solar Today, Mei-Juni 2003, dalam konsumsi energi di Amerika,  bangunan memakai 48% energi yang dibandingkan dengan transportasi 27% dan industri yang 25%. Oleh karena itu pendekatan rancangan bangunan yang ekologis, yaitu memahami dan selaras dengan perilaku alam diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti bagi perlindungan alam dan sumber daya didalamnya sehingga mampu membantu mengurangi dampak pemanasan global.

Bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability) disebut dengan rencana tata ruang. Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah dan pembangunan yang berkelanjutan. Sustainable development  adalah konsep pembangunan yang tidak hanya menyelesaikan masalah sekarang, tetapi menyelesaikan permasalahan yang akan datang. Konsep pembangunan ini mencakup aspek sosial, budaya, energi, ekonomi, lingkungan, dan hampir semua ranah kehidupan. Konsep ini sejalan dengan MDG (Millenium Development Goal), yaitu 8 cita – cita yang harus terwujud sebelum 2015. Konsep pembangunan ini pertama kali dinyatakan pada sebuah laporan tahun 1987 dalam konferensi PBB tentang pembangunan dan lingkungan di Stockholm.(Prijatna, 2008).

Budaya meniru tanpa pendalaman pengertian, bertambah mahalnya lahan untuk hunian, dan tingkat kesulitan hidup yang makin majemuk menjadi sumber berawalnya era hunian yang tidak ramah terhadap lingkungan. Hunian menjadi semakin jauh dari tempat bekerja, bermetamorfosa dari fungsi tempat tinggal menjadi tempat persinggahan sementara. Pada pemikiran “rumah hijau” perubahan dapat dimulai dari saat kita mendesain rumah, bagaimana kita membangun rumah tersebut, bagaimana pengoperasiannya dan bagaimana pemeliharaannya. Kalau keempat faktor ini sudah kita pahami, tentunya kita sudah selangkah lebih maju dalam “langkah kecil” kita untuk menyelamatkan bumi. ( Ary Indra, 2009).

Pertumbuhan penduduk yang tidak disertai dengan meluasnya lahan memaksa manusia untuk membangun tempat tinggal secara vertikal sehingga tidak menghabiskan banyak lahan. Salah satu alternatif penyelesaian masalah ini adalah dengan dibangunnya apartemen, yaitu rumah susun mewah dengan berbagai fasilitas pendukung yang beraneka ragam. Adanya fasilitas-fasilitas umum tersebut membuat hidup di apartemen menjadi lebih praktis. Mobilitas yang tinggi warga perkotaan menyebabkan orang kota saat ini tidak lagi membutuhkan lahan yang luas untuk tempat tinggal. Apartemen kini menjadi pilihan dari masyarakat modern terutama di kota – kota besar. Dengan tipe masyarakat modern yang mengharapkan kepraktisan dan efisiensi waktu disertai budaya kota besar yang terwadahi dengan keberadaan hunian vertikal ini. Kenyataannya bisa dilihat dalam beberapa tahun belakangan ini telah banyak dibangun apartemen – apartemen dengan tujuan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal tersebut.

Di Indonesia jumlah penduduk pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 257 juta jiwa, dan 49,5% diantaranya akan tinggal di perkotaan. Artinya persoalan – persoalan lingkungan di masa yang akan datang akan banyak muncul di daerah daerah perkotaan. Seperti semakin sempitnya ruang terbuka hijau, meningkatnya timbunan sampah, semakin buruknya kualitas udara perkotaan, meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, ketersediaan air bersih, semakin tidak terkendalinya beban limbah cair domestik, meluasnya pemukiman kumuh dan meningkatnya kemiskinan akan menjadi permasalahan kota – kota di masa yang akan datang. (Redaksi Suara Bumi, 2008). Dan Wiradisuria (1983) mengatakan bahwa lingkungan pemukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan dan lingkungan binaan merupakan bagian pula dari lingkungan hidup.

Tinggal di apartemen keamanannya lebih terjamin, fasilitas yang lengkap seperti taman, kolam renang, ruang kebugaran dan view dalam kota. Gaya hidup modern menuntut berbagai kemudahan bagi kita untuk memiliki tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhan sehari – hari, dengan konsep yang terintegrasi. Artinya, selain apartemen, juga ada hotel, shopping center, office building, pusat hiburan, sekolah, dan juga rumah sakit. Semua fasilitas tersebut berada dalam satu lokasi. Ini membuat penghuni apartemen tidak perlu menghabiskan waktu tempuh di jalan untuk kegiatan sehari-hari. Menurut pengamat properti Budhi S. Gozali (2008), karena sudah menjadi gaya hidup, maka pengembang selalu berusaha membangun apartemen yang sesuai dengan keinginan konsumen. Di Bali saat ini sudah dipenuhi pembangunan apartemen, seperti  Grand Kuta Apartment, Bali Nirwana Resort (BNR) milik Bakrie dan St Regis, Umalas Residence, Harry’s Hotel dan Residence, Bali Kuta Residence dan lainnya yang sudah  mencapai 2.000 unit hingga akhir 2008. Dengan harga berkisar Rp 10-12,5 juta/m2, hingga Rp 15-20 juta/m2.

Seiring dengan perjalanan waktu, percepatan pertumbuhan komoditi pariwisata di Bali sangat kuat terlihat, terutama dalam lima tahun terakhir. Selalu ada wilayah baru yang dibuka demi pariwisata, membuat pulau ini semakin tajam berbeda dari berbagai lapis dimensi. Perbedaan dimensi ini menjadi semakin nyata dalam dua arti. Pertama, semakin jauhnya dari akar budaya dan kebiasaan hidup masyarakat Bali. Yang kedua, terjadinya penumpukan bangunan di wilayah-wilayah tertentu. Dari pesisir Barat sampai ke Selatan kita melihat bangunan-bangunan komersial tertentu, pembangunan apartemen yang mulai menjulang seperti kita lihat pertumbuhannya di daerah Kuta, Legian, Jimbaran, Nusa Dua dan sekitarnya. Bagi pengusaha yang tinggal agak lama, apartemen merupakan pilihan yang ideal dibandingkan dengan tinggal di hotel. Fenomena inilah yang menjadikan pembangunan Apartemen dan Butik Hotel di Bali menjadi semakin tren. Dengan konsep modern dan minimalis, berdampak semakin menghilangnya identitas Bali yang merupakan daya tarik wisatawan.

Pertumbuhan apartemen – apartemen tersebut terjadi secara sembarangan, para pakar tata ruang, lingkungan, dan hukum sepakat hal ini segera akan menimbulkan konflik sosial serius. Suriyani (2008), dalam tulisannya mengatakan pembangunan fisik di Bali sudah banyak melanggar konsep tata ruang yang telah disepakati dalam Peraturan Daerah (Perda) No 3 tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Dan ada baiknya bagi pihak-pihak terkait untuk mencermati secara mendalam dan mempunyai kontrol yang ketat terhadap pemberian ijin membangun misalnya. Menurut K.G. Dharma Putra, pengamat lingkungan dari Universitas Udayana, pelanggaran terhadap kesepakatan yang dituangkan dalam perencanaan pembangunan bermuara dari tidak konsistennya pelaksanaan perijinan yang dikeluarkan pemerintah pada investor. Padahal dalam Perda pengaturan tata ruang telah tercantum sejumlah nilai-nilai kearifan lokal yanga bernuansa konservasi lingkungan. Ia mencontohkan soal pembatasan ketinggian bangunan maksimum di bawah pohon kelapa atau sekitar 15 meter. Ada juga pengaturan sempadan pantai, sempadan jurang, dan ruang terbuka.

Pada sektor lingkungan hidup, perhatian perlu dikhususkan pada UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati, dan UU No. 6/1994 Tentang Pengesahan Konvensi Perubahan Iklim, serta PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang dapat dipakai sebagai pedoman penyelenggaraan proyek. Dari PP ini bisa dikembangkan kriteria dan indikator bagi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus diperhatikan oleh pengembang dengan partisipasi masyarakat.

Hunian tempat kita tinggal adalah bagian dari lingkungan yang sudah seharusnya kita lestarikan. Salah satu langkah untuk pelestarian lingkungan itu adalah membangun bangunan yang berkonsep ekologis, yaitu suatu pendekatan desain yang menempatkan arsitektur termasuk bangunan dan lingkungannya sebagai bagian dari ekosistem yang tanggap dan bekerja sama dengan komponen ekosistem lainnya, baik manusia, iklim, maupun flora dan fauna. Caranya, ruang-ruang yang direncanakan harus dapat memberi tempat yang nyaman bagi manusia, tanggap dan bekerja sama dengan iklim dengan sistem bangunan alamiah sehingga menghemat energi, ruang terbuka yang dapat mempertahankan fungsi ekologis tanah, dan pengintegrasian tanaman pada ruang arsitektur, baik dengan lansekap horizontal (pada ground level) maupun lansekap vertikal (pada bangunan). Hunian yang demikian ini pada dasarnya memperhatikan sumber daya alam sebagai kesatuan dari lingkungan yang akan dibentuk. Istilah green design, sustainable design, dan ecological design adalah tren yang memang harus dikedepankan. Desain yang tepat serta memperhatikan iklim dan lingkungan akan berdampak positif pada kualitas hidup penghuni rumah.

Untuk tujuan yang sama yaitu menyikapi keseimbangan lingkungan pada penerapan bangunan modern diperlukan strategi khusus dan penerapan yang sesuai dengan kemajuan teknologi material maupun struktural. Kepedulian terhadap keseimbangan antara manusia – ruang – lingkungan tersebut menuntut konsekuensi berupa perhatian yang besar terhadap keputusan – keputusan rancang bangun dan desain yang diterapkan untuk menghasilkan hubungan timbal balik dampak dan manfaat bagi ketiganya.

Dilihat dari geografis, Indonesia beriklim tropis lembab karena terletak di kawasan tropis dan diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Suhu udara antara 20 – 30 derajat Celsius, dengan curah hujan rata-rata 2.000-3.000 milimeter per tahun.  Di dalam ruang. pengaruh yang sangat dominan dan harus dikendalikan adalah radiasi matahari. Variasi suhu di Indonesia hanya dipengaruhi oleh ketinggian tempat (altitude). Ada dua daerah yaitu dataran tinggi (pegunungan) dan dataran rendah (pantai). Suhu maksimum di Indonesia menurun sebesar 0,6 C untuk setiap kenaikan elevasi setinggi 100 m. (Benyamin Lakitan , 1994). Dengan latar belakang tersebut, perwujudan konstruksi dan desain interior yang mengadaptasi kondisi iklim Indonesia lebih menguntungkan penghuninya. Adaptasi tersebut sangat memungkinkan penghuni berhemat karena mudahnya perawatan jika menyesuaikan dengan kondisi iklim Indonesia yang tropis dan identik dengan ekologi tropisnya.

Unsur modern yang ditambahkan dalam hunian tropis adalah berkonsep minimalis dimana konsep desain minimalis sangat menguntungkan rumah tinggal yang memiliki keterbatasan lahan, karena praktis, simpel, dan efisien adalah karakter dari desain minimalis. Desain interior  yang efisien dengan keadaan dan “compact” dengan segala kondisi mulai ditinjau dalam penerapan desain interior yang minimalis.

Merupakan kewajiban desainer untuk memikirkan sebuah desain yang berkelanjutan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Karena desainer atau perencana bertanggungjawab atas hampir semua produk, peralatan, dan kesalahan yang terjadi terhadap lingkungan (Papanek, 1982 : 54). Para desainer kini menghadapi tantangan, bukan hanya memaksimalkan potensi estetika dan kegunaan objek, tapi juga meminimalisasi dampak buruk bagi lingkungan tanpa menghabiskan lebih banyak sumber energi. Melihat juga fenomena trend saat ini yang cenderung menerapkan konsep desain minimalis, dimana bentuk bangunan dan desain interior seadanya, tidak simetris dan juga kurang mengindahkan unsur – unsur budaya setempat. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mencoba mengambil fakta terkait dari aspek perancangan interior bangunan yang bergaya minimalis apakah berorientasi, berwawasan dan berpihak pada lingkungan, terutama yang berpengaruh pada pembangunan lingkungan di pesisir Selatan Bali.

Faktor – faktor yang erat kaitannya dengan penataan bangunan apartemen di kawasan Bali Selatan akan dikaji dalam penelitian ini untuk mendapatkan pendekatan ke arah bangunan yang ramah lingkungan yang disesuaikan dengan kriteria ramah lingkungan yang telah ada. Menuju penerapan Undang – Undang no 28 tahun 2002 tentang bangunan dan Gedung, peraturan pemerintah no 36 tahun 2005 tentang peraturan pelaksanaan UUBG, bahwa semua bangunan dan gedung harus layak fungsi pada tahun 2010. Konsep green building akan menjadi sebuah kebutuhan dan gaya hidup karena ini menyangkut masa depan dan keberlangsungan kehidupan di Bumi.

Bersambung….


Tanggapan

  1. Go Beyond! weh!


Tinggalkan komentar

Kategori